Rabu, 26 Oktober 2011

rabu membingungkan

kenapa rabu?? yaaakk hari ini membingungkan. tak ada satupun plan yang hari kemaren udah direncanakan dapat terlaksana. semua stuck hanya di ruangan 3x3 meter ini.. fyyuuuuhhh :( semua karena bangunnya kesiangan. sudah seminggu ini insomnia akutku kambuh lagi. baru bisa tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi (dikala orang2 sudah bangun untuk siap2 memulai aktivitas), aku baru memejamkan mata. anehhh.. kebiasaan buruk yang kalo sudah dijalani sehari butuh berbulan2 untuk mengubahnya. alhasil kasur itu menenggelamkanku dalam tidur yang panjang dan bermimpi tentang banyak hal (mimpi doaaankkk).. huh haaaahh... ingin ingin dan ingin bisa tidur lebih cepat dan bangun lebih pagi agar banyak hal bisa direalisasikan. kapan yak?? lets.. aku tau aku bisa ya aku tau aku bisa!! hanya seringkali kalo udah stuck agak kesusahan untuk bergerak lagi. bingung juga, pengennya aktif tapi kalo udah aktif ehh malah kebablasan. manajemen waktu dan malas yang kurang terorganisir dengan baik membuat semuanya berantakan. yaaaa.. semoga kamis lebih bergairah dengan hasil yang menggelora. amiiiin..

Kamis, 13 Oktober 2011

Perempuan separuh baya dan tas hijau pupus

Wanita tua berpakaian lusuh dengan wajah bersinar, menyedot 95% perhatianku pada suatu waktu dalam sebuah perjalanan menuju jogja.
wanita tua itu bersama dengan suami dan seorang anak laki-lakinya yang berumur kira-kira 35 tahun dengan tingkah laku seperti anak berumur tidak lebih dari 5 tahun.
bukan, bukan laki-laki tua yang menjadi suaminya dan laki-laki berperawakan dewasa yang menjadi anaknya itu yang menarik perhatianku. tetapi wanita tua kurus dan berpakaian lusuh itulah yang menarik perhatianku. dan kebetulan dia duduk dekat sekali dengan tempat aku duduk.

wanita tua itu mengenakan pakaian yang sangat sederhana bahkan telah lusuh bagi banyak orang pada umumnya. rok hitam dengan jahitan di beberapa bagian, atasan putih (warna awalnya) namun telah menguning, kerudung hitam yang dipeniti karena sedikit longgar pada dagunya serta sebuah tas tangan hijau pupus yang sudah sangat tak layak pakai sebab kedua tali tasnya yang sebenarnya telah putus hanya dikaitkan dengan peniti besar agar tas itu masih tetap bisa dipakai. tas yang ditentengnya pada lengan sebelah kanannya itu mengiris miris hatiku. mengingatkanku pada tumpukan tas yang jarang kupakai di atas lemari pakaianku. yang membuatku lebih terperangah adalah wanita itu memiliki segaris wajah yang bersinar dan sepasang mata yang teduh. menenangkan memandangnya. walau kami tak bisa berkomunikasi verbal dengan lancar karena si wanita tua itu tak bisa menggunakan bahasa indonesia dalam percakapannya tapi aku yakin di dalam balutan pakaian dan kulitnya, wanita itu memiliki hati dan ruh yang luar biasa bening.

wanita itu memikatku dengan pancaran kebersahajaan wajahnya yang walau sudah setengah baya tetapi tak menyiratkan kepenatan. walau telah getir dengan pahitnya kehidupan yang menghimpit jiwa dan raganya tetapi tak lantas menyerah kalah. sebab aku tahu bahwa dia bukan dari kalangan menengah yang hidup berkecukupan. hidupnya jauh dari kelayakan yang pantas diperolehnya. sebab aku paham dari celoteh mata anaknya yang tak terawat dengan layak oleh fasilitas kesehatan. jangankan bicara kesehatan, untuk makan saja mereka sudah syukur bertahan dengan nasi campur garam karena kolaborasi itu yang tersimpan dalam plastik putih bekal makanan anak lelakinya yang beberapa saat kemudian dibuka dan disuapkan ke mulut anaknya sedikit demi sedikit.
ia tak menyerah kalah dalam putaran nasib yang mengungkungnya.

wanita tua itu masih mapu tersenyum tulus pada setiap orang yang memandangnya. berbagi ketenangan yang luar biasa menenangkan dan menguatkan. terutama bagi jiwaku yang telah sedikit menggosong. kucoba sesekali membuka komunikasi walau tetap tak bisa nyambung karena bahasa yang dipakai si wanita tua itu adalah bahasa jawa yang super duper halus. aku masih tak mengerti dengan bahasa jawa halus meski sudah sembilan tahun kuhabiskan waktuku di tanah jawa. bagiku, bahasa itu masih terlampu rumit untuk dipahami seutuhnya.

wanita tua itu membagi pelajaran pada otakku, membagi penalaran pada akalku dan memberi pemahaman pada hatiku. menanamkan arti kesederhanaan dan kesahajaan pada pribadiku. dalam sejenak berada disampingnya memberiku aset berharga dalam perjalanan panjang hidupku ke depan. walau tak sepenuhnya mendapatkan jawaban pasti mengapa dia memiliki wajah bersinar seperti itu, akan tetapi dari bahasa tubuh dan lantunan kalimatnya yang lembut, aku paham bahwa untuk dapat memiliki wajah yang bersinar dan mata seteduh itu harus memiliki hati yang bening. hati yang tak mudah menyerah dan jiwa yang tak mudah mengeluh.

semoga suatu saat kita bisa dipertemukan lagi. Tuhanku, semoga kau beri yang terbaik untuk wanita tua itu dalam sisa-sisa hidupnya. walau yang terbaik itu tak selalu sama bagi setiap manusia. semoga bahagia selalu menyertainya.


Saturday, January 30, 2010 at 2:01am

sepenggal cerita dari balik jendela kereta

(cerita ini aku tulis pada tahun 2009, ingin kembali menuliskannya di blog ini)

Kereta gayabarumalam jatinegara - jogja merealisasikan hasrat petualanganku. hasrat yang bukan sekedar hasrat, melainkan upaya pencarian sejuta referensi dalam memperkaya wacana hidup. belajar untuk berempati dan belajar cara manusia lain mempertahankan eksistensi di antara himpit yang menyesak. Cemas sempat sedikit menyurutkan langkahku untuk menukar rupiahku dengan selembar tiket. tetapi kubulatkan kembali tekadku dan ternyata aku menikmati setiap detik yang diciptakan di atasnya.

*Sepasang suami-istri muda belia yang mudik ke kampung karena sang suami liburan kerja mengajarkanku arti sebuah penerimaan dan ketulusan hati. sepasang itu yang memaniku selama perjalanan. di tengah kesederhanaan, mereka masih mampu berbagi.

*Dua perempuan pengamen karaoke yang dengan centil menyentil seorang laki-laki bertato yang sok juara karena enggan membagi rupiahnya, membuat rasioku mengerti mengapa ada banyak perempuan yang rela membagi martabatnya demi selembar rupiah.

*Seorang laki-laki setengah baya tukang tambal ban yang mengaku hendak menjenguk istri dan 3 anaknya akan tetapi setiap 20 menit sekali menerima 2 panggilan berbeda dan lalu asyik masyuk mengobrol mesra di telepon selulernya, 2 wanita berbeda yang satu dipanggilnya cinta dan satu lagi dipanggilnya honey, mengajarkan padaku bahwa untuk bisa selingkuh tidak lagi butuh banyak rupiah.

*Seorang wanita usia 45 tahun dengan dandanan menor di seberang tempat aku duduk asyik mengobrol dengan 3 laki-laki tanggung tentang 5 anaknya yang ke semuanya kuliah di luar kota dan tentang kesepiannya karena membesarkan kelima anaknya sendirian semenjak sang suami meninggal dunia 6 tahun silam karena stroke, sesekali suaranya terdengar manja dan menggoda. wanita itu memberiku pemahaman bahwa tidak hanya perempuan muda nan montok yang bisa membelalakkan mata kaum adam. yang segar dan muda tak selalu menarik karena yang tua lebih kaya pengalaman :)

Riuh ramai para pedagang tak mengurasi semangatku untuk meresapi perjalanan ini agar tetap memiliki makna. seorang penjual tasbih yang ngotot menjual dagangannya pada orang-orang di deretan bangkuku membuatku tercekat dengan rentetan kalimatnya yang menohok nuraniku. menyentil sentimentil religius yang sudah lama tak bertandang padaku. membuatku berulangkali melafadzkan dua kalimat syahadat dan diam-diam mengirim doa pada Langit agar Iman di dadaku tak akan pernah pergi.

Seorang laki-laki muda tanpa satu kaki membawa sebundel besar koran dengan lincah ikut dalam barisan pedagang. meski ruang sudah penuh sesak dengan jejalan penumpang dan pedagang, tak sedikitpun kulihat matanya menyiratkan surut. meski memiliki keterbatasan fisik tak lantas membuatnya menyerah menantang hidup. tak lantas membentuk mentalitas manja dalam karakternya. langkahnya tetap kokoh meski sedikit miring karena badannya hanya bertumpu pada satu kaki dan tongkat pengganti satu kakinya yang hilang. dia tetap punya semangat yang membuatku seketika dihinggapi perasaan malu.

terakhir, sepasang suami-isteri renta menggandeng anak mereka; seorang laki-laki dewasa berbadan tegap dan berkumis lebat yang kecerdasan dan tingkah polanya sama dengan anak berusia 5 tahun. kalau saja tak ada yang meperhatikan tatapan matanya yang kosong dan polos maka tak akan ada yang tahu bahwa didalam raganya terjebak jiwa seorang anak laki-laki yang usianya tak lebih dari 5 tahun. namun sepasang renta itu tampak sangat mencintai buah hati mereka. dengan sayang menyuapi sesuap demi sesuap nasi dan tempe sebagai lauk agar putranya tak mengamuk karena kelaparan. sepasang manusia itu mengajarkanku tentang kesederhanaan dan cinta kasih. tak ada letih di rona mereka meski kutahu merawat putranya yang memiliki bobot montok itu tidaklah mudah.

Kereta kelas ekonomi dengan laju yang terseok-seok membawaku meninggalkan ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri menuju kota nyaman tentrem yang ngangenin. 12 jam bersama mereka yang seringkali terpinggirkan. bersama mereka yang lebih sering merasakan imbas dari ketidakmerataan kemakmuran. berbaur bersama mereka yang lebih banyak tak didengar meski punya hak yang sama sebagai rakyat. bersama mereka yang justru tak butuh ayat demi ayat dalam bab-bab aturan formal tetapi merindukan real action dari sebuah kebijakan. bersama mereka memberikanku pemahaman bahwa kemudian wajar ketika mereka bersikap apatis terhadap muatan politis yang diangkut para petinggi, karena diam dan berteriak tak ada bedanya bagi mereka, toh sesuap nasi ada ditangan mereka sendiri. menunggu sama halnya dengan menderita karena sakit cuma mereka yang rasa.


Gayabarumalam tetap melaju bersama hatiku yang teriris miris. meraih la menthol yang tetap setia menemani perjalananku dan kembali menyapa pada sepasang suami-istri belia yang juga masih setia berbagi canda denganku. sembari melirik gerimis yang tiba2 saja hadir di luar jendela.



Saturday, December 12, 2009 at 12:06pm

Rabu, 12 Oktober 2011

Langgam Cita Anak Pertiwi

Harmoni ragam tercipta dalam ruang berseragam
Menebar sejumput asa yang tak ragam
Hening sesekali riuh sesekali
namun tak kisruh
Di ujung sana ada sepasang mata yang awas
Cermat meski tak harus cerdas

Gelap-gelap sebelum fajar menyapa bumi
Tatkala mimpi masih berlari
Kita sudah di sini,
Berbagi dan lalu bergumam tentang visi
Menyulam idealitas menjadi realita harmoni
Pancasila yang harus tetap sakti dalam bhineka tunggal ika.

Negeri kami memang negeri dunia ketiga
Namun bukan berarti sumber daya kami minim
Masih ada masa depan dan pesona
Tunggulah sejenak lagi, kemiskinan dan kekerasan akan tinggal berdebu di museum dan kitab lama
Akan kami bangunkan negeri kami sebuah masa depan yang bijak

Kita harus tetap kokoh meski tak sedikit cela yang menyapa
Cita-cita adalah kekuatan yang dibangun atas nama bangsa
Seperti gumpalan pasir dan debu
Matang karena menanti dan tajam karena beradu

Di atas jejak khatulistiwa
Kita berikrar untuk maju
Sekalipun malam menjelma keparat
Sekalipun bulan menatap khianat
Negeri ini, cita-cita ini harus berbunga indah.