Kamis, 13 Oktober 2011

sepenggal cerita dari balik jendela kereta

(cerita ini aku tulis pada tahun 2009, ingin kembali menuliskannya di blog ini)

Kereta gayabarumalam jatinegara - jogja merealisasikan hasrat petualanganku. hasrat yang bukan sekedar hasrat, melainkan upaya pencarian sejuta referensi dalam memperkaya wacana hidup. belajar untuk berempati dan belajar cara manusia lain mempertahankan eksistensi di antara himpit yang menyesak. Cemas sempat sedikit menyurutkan langkahku untuk menukar rupiahku dengan selembar tiket. tetapi kubulatkan kembali tekadku dan ternyata aku menikmati setiap detik yang diciptakan di atasnya.

*Sepasang suami-istri muda belia yang mudik ke kampung karena sang suami liburan kerja mengajarkanku arti sebuah penerimaan dan ketulusan hati. sepasang itu yang memaniku selama perjalanan. di tengah kesederhanaan, mereka masih mampu berbagi.

*Dua perempuan pengamen karaoke yang dengan centil menyentil seorang laki-laki bertato yang sok juara karena enggan membagi rupiahnya, membuat rasioku mengerti mengapa ada banyak perempuan yang rela membagi martabatnya demi selembar rupiah.

*Seorang laki-laki setengah baya tukang tambal ban yang mengaku hendak menjenguk istri dan 3 anaknya akan tetapi setiap 20 menit sekali menerima 2 panggilan berbeda dan lalu asyik masyuk mengobrol mesra di telepon selulernya, 2 wanita berbeda yang satu dipanggilnya cinta dan satu lagi dipanggilnya honey, mengajarkan padaku bahwa untuk bisa selingkuh tidak lagi butuh banyak rupiah.

*Seorang wanita usia 45 tahun dengan dandanan menor di seberang tempat aku duduk asyik mengobrol dengan 3 laki-laki tanggung tentang 5 anaknya yang ke semuanya kuliah di luar kota dan tentang kesepiannya karena membesarkan kelima anaknya sendirian semenjak sang suami meninggal dunia 6 tahun silam karena stroke, sesekali suaranya terdengar manja dan menggoda. wanita itu memberiku pemahaman bahwa tidak hanya perempuan muda nan montok yang bisa membelalakkan mata kaum adam. yang segar dan muda tak selalu menarik karena yang tua lebih kaya pengalaman :)

Riuh ramai para pedagang tak mengurasi semangatku untuk meresapi perjalanan ini agar tetap memiliki makna. seorang penjual tasbih yang ngotot menjual dagangannya pada orang-orang di deretan bangkuku membuatku tercekat dengan rentetan kalimatnya yang menohok nuraniku. menyentil sentimentil religius yang sudah lama tak bertandang padaku. membuatku berulangkali melafadzkan dua kalimat syahadat dan diam-diam mengirim doa pada Langit agar Iman di dadaku tak akan pernah pergi.

Seorang laki-laki muda tanpa satu kaki membawa sebundel besar koran dengan lincah ikut dalam barisan pedagang. meski ruang sudah penuh sesak dengan jejalan penumpang dan pedagang, tak sedikitpun kulihat matanya menyiratkan surut. meski memiliki keterbatasan fisik tak lantas membuatnya menyerah menantang hidup. tak lantas membentuk mentalitas manja dalam karakternya. langkahnya tetap kokoh meski sedikit miring karena badannya hanya bertumpu pada satu kaki dan tongkat pengganti satu kakinya yang hilang. dia tetap punya semangat yang membuatku seketika dihinggapi perasaan malu.

terakhir, sepasang suami-isteri renta menggandeng anak mereka; seorang laki-laki dewasa berbadan tegap dan berkumis lebat yang kecerdasan dan tingkah polanya sama dengan anak berusia 5 tahun. kalau saja tak ada yang meperhatikan tatapan matanya yang kosong dan polos maka tak akan ada yang tahu bahwa didalam raganya terjebak jiwa seorang anak laki-laki yang usianya tak lebih dari 5 tahun. namun sepasang renta itu tampak sangat mencintai buah hati mereka. dengan sayang menyuapi sesuap demi sesuap nasi dan tempe sebagai lauk agar putranya tak mengamuk karena kelaparan. sepasang manusia itu mengajarkanku tentang kesederhanaan dan cinta kasih. tak ada letih di rona mereka meski kutahu merawat putranya yang memiliki bobot montok itu tidaklah mudah.

Kereta kelas ekonomi dengan laju yang terseok-seok membawaku meninggalkan ibukota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri menuju kota nyaman tentrem yang ngangenin. 12 jam bersama mereka yang seringkali terpinggirkan. bersama mereka yang lebih sering merasakan imbas dari ketidakmerataan kemakmuran. berbaur bersama mereka yang lebih banyak tak didengar meski punya hak yang sama sebagai rakyat. bersama mereka yang justru tak butuh ayat demi ayat dalam bab-bab aturan formal tetapi merindukan real action dari sebuah kebijakan. bersama mereka memberikanku pemahaman bahwa kemudian wajar ketika mereka bersikap apatis terhadap muatan politis yang diangkut para petinggi, karena diam dan berteriak tak ada bedanya bagi mereka, toh sesuap nasi ada ditangan mereka sendiri. menunggu sama halnya dengan menderita karena sakit cuma mereka yang rasa.


Gayabarumalam tetap melaju bersama hatiku yang teriris miris. meraih la menthol yang tetap setia menemani perjalananku dan kembali menyapa pada sepasang suami-istri belia yang juga masih setia berbagi canda denganku. sembari melirik gerimis yang tiba2 saja hadir di luar jendela.



Saturday, December 12, 2009 at 12:06pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo dikomen :)