Rabu, 21 November 2012

Edisi Celoteh #2

Celotah Celoteh

Pemaknaan huruf sejatinya saat sudah menjadi kata, ketika dimaknai dalam bilangan satuannya maka ia akan lebih mengarah ke hampa. Pun sama dengan struktur kalimat. Pendefinisiannya lebih hidup ketika tak hanya berupa penggalan. Karena untuk bisa merangkai kalimat diperlukan harmonisasi antara akal, hati dan lidah. Meskipun terkadang selaras itu tidak selalu hadir.
Berbahagialah yg masih dikaruniai tenggorokan dan lidah untuk mentransformasi kalimat ke dalam bunyi dan berbanggalah bagi yang disematkan telinga untuk menangkap arti. Sebab tanpa keduanya hati dan akal tak akan bisa melangkah.
Tepis enyah sensitifitas yg lebay karena jika tak maka seringkali ia bermetamorfosa menjadi racun yg mematikan beberapa potensi positif. Begitupun layaknya dgn angkuh, jika dipupuk maka egosentrisme merajalela.

Aih aih.. Ocehan monolog di sela2 kumandang panggilan subuh.
Semakin memecut semangat 'be positive' itu. Ternyata hari ini tak sesingkat yg kukira. Thank u so much alam! ^_*

Edisi Celoteh #1

Celoteh Sunyi

dingin yang menyusup pelan
gerogoti jiwa yang ranggas
mengais letih cahaya bulan
terhalang gulita membentur lintas

malam  membisu dalam dekap kelam
untuk kali ini bintang enggan mampir,
tampak kunang-kunang sesekali menyelam
sekedar membentur kerlip menyingkap tabir
pada permintaan hati yang telah lama tergagas

lunglai menguak cerita itu
sekedar mencumbu kerinduan yang luber
menyeruak sesak tanpa permisi
ahhh.. simpan saja dalam tong, mudah
namun sialnya akal bukan sampah,
putih kertas itu pun memudar.

dendam akan menemukan jalannya sendiri untuk kembali

takkan usai panjang penantian
ketika hati dan jiwa damai bergunjing
dan akal akan memotong seloroh
memupus semua usang dalam dimensi waktu

malam boleh membeku dalam sunyi yang panjang
tapi tidak dengan rindu ini
ia abadi mengikat serapahnya dalam ruh
menjadikan kelabu bertabur kemilau
lupakan saja fatamorgana karena abadi itu ada
meski muslihat ramai mengincar,
kali ini aku ingin malam tak berdusta
tentang kelam yang berbingkai sepi.


Yogyakarta, 3 Feb 2011 -EP-



Semesta Mendukung!


Mentari menyembul malu 
pada pusaran langit setengah sendu 
usai gerimis gusar menyapa 
dini hari selepas pijar cengkrama 

Nafas letih beradu waktu 
memutar roda energi dalam kisaran raga 
perlahan detak mimpi bersatu 
erat menggenggam gelora sukma 

Lantai keramik putih setengah berbisik 
risau menopang sukma yang terbelah 
meski sujud berpolah jentik 
gamang duniawi menelurkan sembah 

Semesta punya cara sendiri untuk bicara 
bahkan dalam bilangan yang tak terhitung 
cita itu seperti belantara 
tersibak perlahan meski tak tertantang 

Berlarilah berlarilah 
sebab kilau tak serta merta hadir 
tangguh itu menjalar, kuat itu menular 
maka srikandi menjelma akar 
dalam sanubari yang tak gentar 

Jika retak dawai tetap syahdu terdengar 
tangis dan tawa tak berarti sampah 
suara-suara lirih itu adalah pijar 
menggeliat meski tak terlihat 
utuh atas nama ketidakpastian 

Maka jangan lagi menyeru enggan 
menyerah takluk pada rintang 
siang tak akan selalu terang 
hening malam pun tak lagi lamban 
Lihat, semesta selalu punya jawaban atas tanya. 

x

Lalat Dini Hari

Sebenarnya aku tak membenci lalat. Itu bukan berarti menandakan aku suka lalat. Biasa saja. Tak suka dan tak benci. namun dini hari ini tiba-tiba saja aku menjadi teramat sangat benci lalat. pfyuuuh..

Bermula dari sudah 2 hari terakhir ini ada 1 lalat yang menjadi tamu sesekali di ruang tidurku, aku cuek dan masih biasa aja. dengan tenang kuusir dia dengan kibasan kain sarung atau lembaran kertas. lalat itu berhasil pergi. beberapa saat pergi dia kembali lagi (mungkin dengan sumringah kalau aku bisa mengamati dengan seksama bagian wajahnya) ketika pintu kamarku terbuka lebar. masih juga dengan tenang aku bisa menghalaunya keluar.

namun tidak di dini hari ini, ketenanganku terkikis habis.
bagaimana tidak, ada 3 ekor lalat yang dengan congkak (dan mungkin sambil berlenggak lenggok bak peragawati di panggung pertunjukan andai aku bisa melihat lebih detail bagian pantatnya) masuk ke ruanganku dan di belakang 3 lalat itu ada 2 laron yang menyertainya. huh hah..

_tahukah kau wahai lalat, pintu itu terbuka lebar bukan untuk mempersilahkanmu masuk dengan bebasnya. pintu itu kulapangkan untuk membuat kamar ini tidak pengap dan aku bisa bernafas dengan indah dan teratur_

mungkin salah satu dari mereka adalah lalat yang 2 hari ini setia berkunjung (anggap saja iya) dan lalu karena selalu berhasil memperdayaiku dia lalu berkoar pada teman2nya dan berhasil mendoktrin 2 di antara teman2nya itu untuk meliuk-liuk di ruanganku. aihh.. dan perang itu pun dimulai.

dini kali ini aku beradegan perang2an dengan 3 ekor lalat plus 2 ekor laron. dan aku benci lalat dini hari ini! hup hap, 2 keluar tapi satu terlalu lincah untuk terjamah dengan kibasan sapu ijukku sehingga dia selalu bisa lolos. mungkin saja itu lalat yang menjadi pengunjung setia itu. dia selalu lolos karena sudah terlatih menghindari setiap seranganku. kesal, aku masih memburunya. menyumpah serapahinya dengan amarah yang membuncah. tolol, tapi aku tak peduli. yang aku pedulikan adalah bagaimana dia bisa sesegera mungkin bisa kuusir dari ruangan ini. setelah kurang lebih 15 menit adegan perang2an itu terekam oleh dinding dan lemari serta jejeran buku2 di rak barulah aku bisa mengakhirinya dengan happy ending (tentunya dari sudut pandang aku). yipppieee...

hahhhhh, aku benci lalat dini hari ini. sama seperti aku benci bau tanah setelah hujan karena aroma yang didesahkan tanah setelah disetubuhi hujan berhasil memvisualisasikan wujud cacing gelang yang bermukim di tanah pada pikiranku. satu2nya hewan yang membuatku bergidik tak karuan meski hanya dengan membayangkan saja. hueeeekkkk... mari hentikan saja tentang hewan tanah itu karena memang bukan itu yang dibicarakan di sini.

selamat pergi lalat-lalat nakal, tenanglah kau di luar sana, tempatmu bukan di sini. ini area privasiku di mana aku bebas berpolah dan berekspresi tanpa gugatan. sederhana saja sebenarnya, kau datang tidak tepat waktu. andai saja kau datang setelah dini hari berlalu atau setelah segelas kopi ini kuhabiskan mungkin kisahnya akan lain, mungkin aku tak membencimu seperti saat ini. meskipun kau sempat membuat kesumat ini membuncah tapi aku ingin melepasmu tidak dengan tanpa kata (meski tadi kita sempat perang), terima kasih sudah mengerti, terima kasih sudah memberiku ruang karena akhirnya bisa kuselesaikan juga tugasku yang sedikit terhambat karena kehadiranmu dan bonusnya adalah aku jadi punya cerita khusus untukmu di pagi ini, meski begitu aku tetap membencimu untuk beberapa saat ke depan yang entah sampai kapan.

_pagi ini indah meski mendung masih menggelayuti langit_